Tidak Memperhatikan Masalah Aqidah Dengan Benar Sebelumnya

Bukti nyata bahwa jama'ah Ikhwanul Muslimin tidak memperhatikan perkara aqidah dengan benar, adalah banyaknya anggota-anggota yang jatuh dalam kesyirikan dan kesesatan, serta tidak memiliki konsep aqidah yang jelas. Hal itu juga bahkan terjadi pada para pemimpin dan tokoh-tokohnya, yang menjadi ikutan bagi anggota- anggotanya seperti : Hasan Al Banna, Said Hawwa, Sayyid Quthub, Muhammad Al Ghazali, Umar Tilimsani, Musthafa As Siba'i dan lain sebagainya.


Seorang tokoh Islam Muhammad bin Saif Al A'jami menceritakan bahwa Umar Tilmisani yang menjabat Al Mursyidu Al 'Am dalam organisasi Ikhwanul Muslimin dalam jangka waktu yang lama, pernah menulis buku yang berjudul Syahidu Al Mihrab Umar bin Al Khattab (Umar bin Al Khattab yang wafat syahid dalam mihrab) yang penuh dengan ajakan kepada syirik, menyembah kuburan, membolehkan beristighatsah kepada kuburan dan berdoa kepada Allah disamping kubur. Tilmisani juga menyatakan bahwa kita tidak boleh melarang dengan keras penziarah kubur yang melakukan amalan seperti itu. Coba simak teks perkataannya pada hal 225- 226 : "Sebagian orang menyatakan bahwa Rasulullah memohonkan ampun untuk mereka (penziarah kubur) tatkala beliau masih hidup saja. Tetapi saya tidak mendapatkan alasan pembatasan itu pada masa hidup beliau saja. Dan di dalam Al Quran, tidak ada yang menunjukkan adanya pembatasan tersebut". Di sini, dia menganggap bahwa memohon kepada Rasulullah sesudah kematian beliau, beristighatsah dan beristghfar dengan perantaraannya, hukumnya boleh-boleh saja. Pada halaman 226 dia juga menyatakan : "Oleh karena itu saya cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa beliau telah memohonkan ampunan di kala beliau masih hidup, maupun sesudah matinya bagi siapa yang mendatangi kuburan yang mulia." Pada halaman yang sama dia juga menyebutkan : "Oleh karena itu, kita tidak perlu berlaku keras dalam mengingkari orang yang meyakini karamah para wali, sambil berlindung kepada mereka di kuburan-kuburan mereka yang disucikan, berdoa kepada mereka tatkala tertimpa kesusahan. Yang juga mereka yakini bahwa karamah para wali tersebut termasuk kemu'jizatan para nabi." Kemudian pada halaman 231 ia menyatakan : "Maka kita tidak perlu memerangi wali-wali Allah dan orang-orang yang menziarahi serta berdoa disamping kuburan- kuburan mereka.".


Demikianlah, tidak ada satupun bentuk syirik terhadap kuburan yang tidak dibolehkan sebagaimana yang dikatakan oleh Al Mursyidu Al 'Am dari Ikhwanul Muslimin itu. Karena kegandrungannya dan kecintaannya yang mendalam terhadap bentuk-bentuk perbuatan syirik dan kufur semacam inilah, sehingga Tilmisani menyatakan : "Maka kita tidak perlu memerangi (orang yang mereka anggap) wali- wali Allah dan orang-orang yang menziarahi serta berdoa disamping kuburan- kuburan mereka."


Tilmisani sendiri juga hidup di Mesir yang terdapat banyak kuburan-kuburan dimana dilakukan syirik terbesar, bahkan lebih besar dari syirik ummat jahiliyah pertama. Kuburan-kuburan dijadikan tempat berthawaf dan tempat memohon segala sesuatu yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah. Di antara yang mereka anggap wali, kebanyakannya adalah kumpulan orang-orang zindiq dan mulhid, seperti : Sayyid Da'iyyah Fathimi yang tak pernah melakukan shalat.


Diantaranya juga ada kaum sufi yang "keblinger", seperti : Syadzili, Dasuki, Qonawi dan lain sebagainya, yang ada disetiap kota dan pedesaan. Orang-orang itulah yang jadi wali-wali mereka. dan kuburan-kuburan mereka itulah yang dipublikasikan oleh "Al Mursyidu Al 'Am/pemimpin umum" dari Ikhwanul Muslimin itu.


Dia kembali menyatakan pada halaman 231 sebagai berikut : "Meskipun hati saya sudah demikian cinta, suka dan bergantung kepada wali-wali Allah itu, meskipun saya amat gembira dan senang menziarahi mereka di tempat-tempat kediaman abadi mereka dengan melakukan hal-hal merusak aqidah tauhid --menurut anggapannya-- akan tetapi saya tidak berorientasi penuh untuk mempropagandakannya. Hal itu hanya sebatas soal intuisi/perasaan. Dan saya katakan kepada mereka yang bersikap ekstrim dalam mengingkarinya : Tenanglah, di dalam masalah ini tidak ada perbuatan syirik, penyembahan berhala, maupun ilhad/kekufuran."


Maka apalagi yang bisa diharapkan dari keyakinan yang merancukan aqidah dan tauhid, sehingga berdoa kepada orang yang sudah mati disamping kuburan-kuburan mereka kala ditimpa kesusahan dianggap hanya soal perasaan yang tidak mengandung syirik dan penyembahan berhala, seperti yang diungkapkan Al Mursyidu Al 'Am dari Ikhwanul Muslimun tersebut ? Mushthafa As Siba'i, Al Mursyidu Al 'Am dari Ikhwanul Muslimin dari Syiria pernah menggubah qashidah yang dibacakannya di kuburan Nabi. Yang di antara bait-baitnya adalah :


"Wahai tuanku, wahai kekasih Allah. Aku datang diambang pintu kediamanmu mengadukan kesusahanku karena sakit. Wahai tuanku, telah berlarut rasa sakit dibadanku. Karena sangat sakitnya, akupun tak dapat mengantuk maupun tidur....." (Lihat Al Waqafat halaman 21-22).


Dari kedua bait diatas, kita dapat memahami bahwa dia telah melakukuan istighatsah kepada Rasulullah yang jelas merupakan perbuatan syirik yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.


Hasan Al Banna juga mengambil aqidah dari thariqat sufiah quburiah yang bernama Al Hashafiah. Dia berkata dalam kitabnya Mudzakkirat Ad Dakwah Ad Adala'iah halaman 27 : "Aku bersahabat dengan para anggota kelompok hashofiah di Damanhur. Dan aku selalu hadir setiap malam (bersama mereka) di mesjid At Taubah." Berkata Jabir Rozaq dalam kitabnya "Hasan Al Banna bi Aqlami Talamidzatihi wa Ma'asirihi" halaman 8 : "Dan di Damanhur menjadi kokohlah hubungan Hasan Al Banna dengan anggota-anggota Al Hashofiah,dan beliau selalu hadir setiap malam bersama mereka di masjid At Taubah. Dia ingin mengambil (pelajaran) thariqot mereka sehingga berpindah dari tingkatan mahabbah ke tingkatan at taabi' al mubaaya" (Lihat Da'wah Al Ikhwan Al Muslimin halaman 63)


Bahkan Hasan Al Banna sendiripun sebagai pendiri jamaah Ikhwanul Muslimin, nampak sebagai orang yang awam dalam perkara aqidah tauhid. Disebutkan dalam buku Al Waqafat halaman 21-22, bahkan dia pernah berkata : "Dan doa kepada Allah apabila disertai tawassul/mengambil perantaraan salah satu makhluknya adalah perselisihan furu' dalam cara berdoa, dan bukan termasuuk perkara aqidah."


Dalam masalah asma' dan sifat Allah, dia termasuk pengikut madzhab tafwidh, yaitu madzhab yang tidak mau tahu dan meyerahkan begitu saja perkara asma' dan sifat Allah kepada-Nya, tanpa meyakini apa-apa. Itu adalah madzhab sesat, bukan sebagaimana madzhab As Salaf As Shalih yang meyakini makna-makna asma' dan sifat Allah, namun menyerahkan hakikat/bagaimanaasma' dan sifat tersebut kepada- Nya.


Hasan Al Banna menyatakan dalam buku Al Aqaid hal. 74 : "Sesungguhnya pembahasan dalam masalah ini (asma' dan sifat), meski dikaji secara panjang lebar, akhirnya akan menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu tafwidh (tersebut di atas). Tokoh besar mereka yang lain yang serupa keadaannya adalah Sa'id Hawwa. Dia beranggapan bahwa umat Islam pada setiap masanya, (lebih banyak, red) yang beraqidah Asy 'Ariyyah Maturidiyyah (termasuk golongan pentakwil sifat). Sehingga dengan itu beliau berangapan bahwa itulah aqidah yang sah dalam Islam. (Lihat Jaulah fil Fiqhain oleh Said Hawwa).


Sayyid Quthub pun memiliki aqidah wihdatul wujud (bersatunya hamba dengan Allah). Dia berkata dalam kitabnya Dzilalu Al Qur'an jilid 6 hal-4002 : "Hakekat yang ada adalah wujud yang satu. Maka di alam ini tidak ada yang hakekat kecuali hakekat Allah. Dan di sana tidak ada wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Perwujudan selain Allah hanyalah sebagai perwujudan yang bersumber dari perwujudan yang hakiki itu." Selain itu dia juga tidak bisa membedakan antara tauhid rububiah dan tauhi uluhiah. Dan dia menyangka bahwa yang menjadi perselisihan antara para Nabi dengan umat mereka adalah dalam masalah tauhid rububiah bukan uluhiyah.
Dia berkata dalam Dzilalu Al Qur'an 4/1847 : " Bukanlah perselisihan seputar sejarah antara jahiliah dan Islam, dan bukan pula peperangan antara kebenaran dan thogut pada masalah uluhiah Allah ... ." Dan juga perkataannya dalam hal-1852 : "Hanya sajaperselisihan dan permusuhan adalah pada masalah siapakah Rob manusia yang menghukumi manusia dengan syari'at-Nya dan mengatur mereka dengan perintah- Nya dan memerintahkan mereka untuk beragama dan taat kepada-Nya" (Lihat Adwa'un Islahiah karya Syaikh Rabi' pada hal-65).

0 komentar:

Posting Komentar