Prinsip keenam: Pemimpin dakwah bukan orang alim atau thalibul ilmi tetapi seorang yang telah mencapai strata kepemimpinan

Sesungguhnya sejak zaman Nabi Adam 'alaihssalam, orang yang paling tahu mengenai agama akan menjadi rujukan masyarakat. Dan kalau kita membaca sejarah Bani Israil, kita akan melihat bahwa orang yang paling tahu tentang agamalah yang dijadikan pemimpin tanpa melihat apakah ia seorang ahli ibadah yang rusak akhlaknya atau bukan, apakah ia masih berpegang teguh dengan agama Musa atau tidak, apakah ia sudah mengganti agama Musa atau belum. Yang penting, pemimpin ini paling tahu tentang agama. Demikian juga seperti pada zaman Nabi Isa 'alaihissalam sampai zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang pernah mengutus sahabat yang paling alim, Muadz bin Jabal dan selainnya sebagai pemimpin.

Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, para Khulafaur Rasyidin menggantikannya. Kemudian lahir daulah Umawiyah, Abbasiyah, dan zaman kerajaan-kerajaan, sampai ke masa Hasan Al-Banna yang menjadikan pemimpin dakwah bukan dari kalangan orang alim atau thalabul ilmi, tetapi orang yang mencapai tingkat tertentu dalam kepemimpinan. Merekalah yang diserahi tanggung jawab menyangkut urusan ulama, thalabul ilmi, dan pelajaran-pelajaran agama.

Ikhwanul Muslimin membentuk 'negara' kendati tidak ada orang alim di dalamnya. Yang penting, orang yang ditokohkan ini taat, patuh terhadap perintah, petunjuk, dan aturan-aturan jamaah. Pendeknya ia mau mempersembahkan ketatannya kepada sebuah jamaah yang tidak bisa diutak-atik lagi. Kondisi ini terkadang dapat mengantarkan seseorang kepada jabatan yang tinggi hingga bisa saja ia menjadi seorang ketua umum.

Dengan demikian, negara tidak punya hubungan dengan ilmu agama. Akan tetapi asas negara ialah kalau berhasil mengkudeta, secara otomatis telah siap kepala negaranya, menteri-menterinya, gubernur-gubernurnya, atau aturan-aturan yang harus ditaati.

Sebagaimana negara demokrasi, negara ini tidak membahas atau bersinggungan dengan apa yang disebut bid'ah-bid'ah. Yang penting rakyat taat dengan aturan- aturannya kemudian silakan pilih apakah rakyat akan shalat atau tidak shalat. Dan anggota Ikhwanul Muslimin ada yang tidak shalat, ada yang menjadi sufi dan lain- lain. Di antara mereka ada juga yang menganut keyakinan sufi, khurafat, serta akidah lainnya. Prinsip ini kami katakan merupakan bagian dari prinsip-prinsip Hasan Al-Banna.


(Ditulis oleh Syaikh Ayyid asy Syamari, pengajar di Makkah al Mukaramah, dalam rangka menjawab pertanyaan sebagian jama’ah Ahlusunnah wal Jama’ah asal Belanda tentang perbedaan Ikhwanul Muslimin, Quthbiyyah, Sururiyah dan Yayasan Ihya ut Turats. Penerbit Maktabah As-Sahab 2003. Judul asli Turkah Hasan Al Banna wa Ahammul Waritsin. Penerjemah Ustadz Ahmad Hamdani Ibnul Muslim.)

0 komentar:

Posting Komentar